I.
Pendahuluan
Deetz menjelaskan bahwa suatu teori adalah cara melihat dan berpikir
tentang dunia (Litlejohn & Foss, 2008:15, dikutip dalam Kriyantono, 2014).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah teori diciptakan berdasarkan
realitas, sehingga realitas tersebut dapat dijelaskan dan dapat diperkirakan
dampak yang akan ditimbulkannya. Makalah ini menjelaskan mengenai dua teori dalam
Public Relations untuk menunjang
praktisi PR yaitu, Teori Excellence dan Contingency of Accomodation Theory.
Teori Excellence
Model Public Relations
Menurut Grunig & Hunt (1984, h. 25; dikutip
di Kriyantono, 2014, h. 90-98) teori Excellence dalam public relations
merupakan pengembangan dari tori situasional of the public dan 4 model public
relations, model-model tersebut diantaranya:
1.
Model Press Agentry / Publisitas
Model ini mempunyai
komunikasi satu arah yaitu Komunikator kepada Komunikan. Komunikator tidak
terlalu mengharapkan umpan balik yang datang.
Model ini bertujuan dalam melakukan suatu ajakan atau promosi yang
menguntungkanperusahaan
atau instansi. Ciri dari model ini adalah mencari cara agar
khalayak atau publik lebih
tertarik dengan informasi-informasi yang diberikan oleh perusahaan yang
bersangkutan.
2.
Model Public Information
Dalam model ini public relations membangun kepercayaan publik melalui komunikasi satu arah dengan
memberikan informasi kepada public, tetapi todak mementingkan persuasive untuk
mengubah sikap tetapi cenderung memproduksi dan menyebarkan informasi yang
berkaitan dengan organisasinya.
3.
Model Two-Way Asymmetric
Public Relations dalam praktiknya melalui penyampaian pesannya berdasarkan
hasil riset dan strategi ilmiah (scientific
strategy) untuk berupaya
membujuk publik, agar mau bekerja sama, bersikap dan berpikir sesuai dengan
harapan organisasi.
Agar persuasi tersebut berjalan dengan baik diperlukan pemahaman terhadap sikap
dan karakteristik publik.
4.
Model Two-Way Symmetric
Model Simetris Dua Arah,merupakan cara ampuh dalam
meningkatkan citra positif perusahaan terhadap publik. Model ini berbeda dengan
model asimetris yang lebih pada masyarakat menyesuaikan diri pada perusahaan
namun di model ini
organisasi dan publik saling menyesuaikan diri satu sama lain. Fokus menggunakan metode
penelitian dan teknik komunikasi untuk mengelola konfik dan memperbaiki
pemahaman publik secara terencana (Grunig 1992, h.18).
Karakter Organisasi Dalam Model Asymmetric dan Symmetric
Aktivitas Public Relations tidak dapat terlepas
dari budaya organisasi yang budayanya tersebut akan menentukan model apa yang
mendominasi aktivitas public relations tersebut (Grunig, 1989; Grunig &
White, 1992; dikutip di Kriyantono, 2014, h. 98-100).
Karakteristik model asymmetric:
a) Berorientasi
internal, yaitu anggota organisasi hanya memandang realitas dari kacamata
organisasi dan tidak memandang realitas dari kacamata public.
b) System
tertutup, yaitu informasi tersebar dari organisasi dan tidak membuka diri pada
informasi dari luar organisasi.
c)
Menganggap
efisiensi dan control atas segala biaya lebih penting daripada kebutuhan akan
inovasi
d) Bersifat elitism, yaitu pengambilan
keputusan ditentukan hanya oleh pimpinan organisas.
e)
Konservatif,
yaitu cenderung menolak perubahan
f)
Bersiwat
kewenangan terpusat, yaitu kewenangan hanya pada segelintir manajer puncak
Karakteristik model symmetric:
a)
Interdipenden,
yaitu organisasi merasa menjadi bagian dari lingkungannya.
b) System
terbuka, yaitu organisasi membuka diri untuk pertukaran informasi dengan
lingkungannya dan berinteraksi untuk saling memengaruhi.
c)
Bergerak
menuju ekuilibrium.
d) Mempunyai sifat kesederajatan atau
kesetaraan yang tinggi, yaitu anggota organisasi mempunyai kesempatan yang
samadan dihargai sebagai manusia yang menmpunyai hak dan kewajiban untuk
membirakan input kepada organisasi.
e)
Memberikan
otonomi kepada anggota organisasi untuk kreatif dan inovatif dalam bekerja.
f)
Lebih
mengedepankan inovasi daripada fokus pada tradisi dan kebiasaan.
g)
Disentralisasi
menejemen, yaitu cenderung berbagi kewenangan.
h) Setiap
anggota organisasi mesti menyadari konsekuensi dari setiap tindakannya dan
berusaha mengurangi konsekuensi negative dari tindakannya bagi orang lain.
i) Setiap
konflik mesti ditangani melalui komunikasi, negosiasi, dan kompromi bukan
manipulasi, pemaksaan dan kekerasan.
Pendekatan Strategis dan Dialogis
Dalam pendekatan strategis, public bertindak
pasif yang berarti public lebih banyak menerima pesan terhadap program-program
organisasi. Sedangkan dalam pendekatan dialogis lebih membuka aliran informasi
antara organisasi dan public yang saling aktif dalam menyampaikan dan memberi
pesan (Kriyantono, 2014).
Sehingga pendekatan strategis cenderung kepada
model asymmetric dan pendekatan dialogis pada model symmetric
Teori Dialogis Public Relations
Model teori dialogis memandang bahwa dialog
merupakan kunci utama bagi organisasi untuk membangun hubungan baik dengan
public. Teori ini menunjukkan bahwa organisasi benar-benar ingin membangun
relasi dengan public melalui komunikasi.
Teori Excellence in Public Relations
Teori yang merupakan pengembangan dari empat
model public relations dan teori situational of the public, teori ini lebih
menekankan aspek negosiasi dan kompromi. Dan untuk mencapai kedua aspek
tersebut teori excellencemenyarankan agar organisasi berkeinginan untuk
mengubah perilakunya dan manajer public relations harus menjadi bagian dari
proses pengambilan keputusan dalam organisasi.
Teori excellence menganggap public relations
bukan lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau sebagai teknisi
komunikasi untuk menyebarluaskan komunikasi. Namun public relations dianggap
sebagai ahli yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan
penelitian dan dialog untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya.
Banyak kritik dari pakar yang menilai model
normatif ini sulit ditemukan dalam praktik public relations. Pakar-pakar
tersebut adalah Cameron, dkk. (2001), Cancel, dkk. (1997), Reber & Cameron
(2003). Pengkritik tersebut menilai sulit bagi organisasi yang hanya berfokus
menerapkan model two-way symmetric dan menawarkan teori baru yaitu tcontingency
theory of accommodation in public relations (teori CA), yang berpendapat bahwa
two-way symmetric dan win-win solution sulit diterapkan sebagai bentuk ideal.
Karena dalam kenyataan factor aturan atau legal sering tidak memungkinkan
public untuk menang. Sebaliknya, organsasi yang memosisikan dirinya pada suatu
kontinum antara bersikap akomodasi dan bersikap advokasi saat berhadapan dengan
publiknya.
Teori ini menunjukkan bahwa public relations
berkontribusi dalam membangun hubungan yang baik dengan lingkungannya. Dan
kualitas public relations dapat diukur dengan cara mengevaluasi kualitas
hubungan antara organisasi dan publiknya yaitu serial terus-menerus yang secara
perlahan membuat kedua pihak terintegrasikan sehingga sulit menentukan titik
awal dan akhir hubungan. (Kriyantono, 2014, h. 105-110)
Agar dapat menghasilkan proses public relations
yang excellence, teori ini memberikan 10 premis atau prinsip excellence atau
factor excellence. Premis yang merupakan hasil dari penelitian terhadap 327
organisasi di tiga negara yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan teori
komunikasi, public relations, manajemen, psikologi organisasi, sosiologi
organisasi, psikologi social, psikologi kognisis, feminism, ilmu politik,
pembuatan keputusan dan budaya (Grunig, dkk., 2008, dikutip di Kriyantono,
2014). Artinya, teori excellence dan model symmetric merupakan hasil membuat
unifikasi teori. 10 premis tersebut yaitu:
a)
Organisasi
mesti melibatkan aktivitas public relations dalam fungsi strategis manajemen.
Yang setiap pengambilan keputusan mesti mempertimbangkan perspektif public
relations agar menghasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan
dengan public.
b)
Public
relations mesti mendapat akses langsung ke dalam kelompok dominan dan dapat
langsung berkomunikasi dengan manajer senior.
c)
Organisasi
mesti mempunyai fungsi public relations yang terintegrasi ke dalam satu
departemen sendiri.
d) Public relations yaitu fungsi
manajemen yang terpisah dari fungsi manajemen lain.
e)
Manajer
public relations haruslah seorang yang bercirikan ‘manajer komunikasi,’ bukan
‘teknisi komunikasi’ (managerial).
f)
Mengadopsi
model two-way symmetric sebagai basis utama menjalin relasi public.
g)
System
komunikasi internal bersifat two-way symmetric, berupa desentralisasi struktur
yang menjamin otonomi antarbagian, ada dialog 2 arah, dan memberi peluang
anggota organisasi terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
h)
Fungsi
public relations model symmetric, peran manajerial, pelatihan akademik public
relations, dan profesionalitas dilakukan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan
yang memadai tentang bagaimana peran manajerial dalam system symmetric.
i)
Adanya
diversitas peran dalam menjalankan fungsi public relations.
j)
Dalam
menjalankan fungsinya, praktisi public relations harus mengutamakan kode etik
dan integritas profesi.
Poin a, b, c, f merupakan inti dari kesepuluh
premis di atas (Dozier, dkk., 1995). Teori excellence memberikan perhatian
besar terhadap dimensi etis menjalin relasi. Dimensi etis merupakan salah satu
dari 4 dimensi yang membedakan 4 model public relations. Dan dimensi lainnya
yaitu arah komunikasi, satu arah atau dua arah; tujuan komunikasi, simetris
(dua pihak) atau asimetris (lebih menguntungkan pihak organisasi); dan slauran
komunikasi: interpersonal atau bermedia (Kriyantono, 2014, h. 111-112).
Contingency
of Accomodation Theory (CA)
Contingency of Accomodation Theory dalam teori Public Relations merupakan pelengkap dari teori excellence. Teori
CA ini secara umum menjelaskan tentang hubungan organisasi dan publiknya tidak
dapat benar-benar mencapai posisi two-way
symmetric seperti yang ditawarkan dalam teori excellence. Praktik public relations bergerak pada suatu
kontinium antara advokasi bagi organisasi atau klien dan akomodasi total bagi
publiknya (Cameron, dkk dalam Kriyantono, 2014, h.119)
Win-win solution yang ditawarkan model two-way
symmetric tidak selamanya menjadi tawaran yang ideal bagi organisasi. Hal
ini dikarenakan, ada beberapa faktor yang membuat model symmetric sulit untuk diterapkan dalam praktiknya, misalnya
beberapa hal yang berkaitan dengan aturan hukum, sehingga tidak memungkinkan
seorang public relations untuk
memberitahukan hal tersebut kepada publik (Kriyantono,2014, h.120).
Perbedaan Teori CA dan Teori Excellence
Perbedaan kedua teori ini sangat tipis mengingat teori CA sendiri
merupakan pelengkap dari teori Excellence. Perbedaan itu terletak pada
pemaknaan apakah model two-way symmetric
masih dapat diterapkan atau tidak. Teori CA dalam pembahasannya lebih
menegaskan pada batasan-batasan tentang posisi organisasi saat menjalin relasi
dengan publik serta menganggap model symmetric
sulit diterapkan karena pada kenyataannya relasi publik terjadi dalam
kondisi public relations memilih
antara bersikap akomodasi dengan publik atau bersikap advokasi (Kriyantono,
2014, h.120)
Kontingensi : Akomodasi dan Advokasi
Akomodasi dapat diartikan sebagai penyesuaian diri terhadap lingkungan, mencakup
kemampuan untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Advokasi dapat diartikan
sebagai upaya memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kebijakan organisasi,
jadi seorang PR layaknya penasihat hukum membela kliennya. Dikatakan
kontingensi karena antara bersikap akomodasi dan advokasi, seorang PR di
pengaruhi oleh faktor-faktor kemungkinan sehingga bersifat situasional. Seorang
PR harus menyeimbangkan antara akomodasi dan advokasi, karena jika PR lebih
fokus melakukan advokasi maka dapat dikatakan bahwa seorang PR telah melakukan
proses memanipulasi publik (Kriyantono, 2014, h121).
Variabel Teori Contingency of
Accommodation
Seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa teori CA
ini menekankan bahwa sikap atau posisi seorang PR sangat dinamis dan tergantung
pada perubahan situasi yang terjadi (menurut Cameron dikutip dalam Kriyantono,
2014, h.122). Perubahan situasi ini ditentukan oleh variable internal dan
eksternal yang memengaruhi organisasi. Berikut beberapa hal yang termasuk kedalam
variable eksternal dan variabale internal (Kriyantono, 2014).
Ø
Variabel Eksternal
1.
Ancaman-ancaman
(threats)
2.
Lingkungan
industry (industry environment)
3.
Level
ketidakpastian kondisi social politik atau perubahan budaya eksternal
4.
Publik
eksternal (individu, kelompok)
5.
Isu
yang dipertanyakan
Ø
Variabel Eksternal
1.
Karakteristik
organisasi
2.
Karakteristik
departemen Public Relations
3.
Karakteristik
koalisi dominan (top management)
4.
Ancaman
Internal (internal threats)
5.
Karakteristik
individual (praktisi public relations, koalisi dominan, line managers)
6.
Karakteristik
hubungan
Cancel, dkk.
(1999) mengembangkan dua variabel untuk melengkapi teori CA yaitu (Kriyantono,
2014, h. 126) :
a)
Variabel
Presdiposing menurut Cancel, dkk. (1999); Raber & Cameron (2003), adalah
variable yang memiliki pengaruh besar pada organisasi dengan membantu membentuk
kecenderungan bersikap dan menjalin relasi terhadap publik eksternal. Variabel
presdiposing antara lain :
-
Ukuran
organisasi
-
Budaya
organisasi
-
Terpaan
bisnis
-
Afiliasi
atau akses dengan kelompok dominan
b)
Variabel
Situasional yaitu situasi yang spesifik dan berubah secara dinamis selama
interaksi yang melibatkan organisasi dan publiknya. Situasi berperan dalam
perubahan sikap dan pendirian organisasi dalam menghadapi publiknya. Variabel
situasional antara lain :
-
Ancaman,
seperti pemberitaan negative di media, intervensi pemerintah, persoalan hokum
(litigasi)
-
Biaya
dan keutnungan akomodasi
-
Keseimbangan
kepentingan antara berbagai publik
-
Persepsi
publik terhadap isu
-
Reputasi
organisasi
-
Karakteristik
publik eksternal dan tuntutan-tuntutannya.
II.
Deskripsi Kasus
![]() |
Gambar 1 Berita mengenai Pilot Citilink yang diduga mabuk (http://www.bbc.com) |
![]() |
Gambar 2 Berita mengenai Pilot Citilink yang diduga mabuk (https://news.detik.com) |
Kasus
ini dikutip dari portal berita online yaitu bbc.com dan detik.com. Peristiwa
ini terjadi pada 28 Desember 2016, pilot
pesawat
Citilink QG-800 jurusan Surabaya-Jakarta
dalam kondisi mabuk saat akan menerbangkan pesawat pada pukul 05.15 WIB.
Dugaan bahwa pilot maskapai Citilink dalam keadaan mabuk
diutarakan Eddy Roesdiono, salah satu penumpang maskapai tersebut. Eddy mengatakan pesawat akan berangkat
sesuai jadwal, pada pukul 05.15 WIB. Namun, ketika pilot menyampaikan pesan
kepada para penumpang melalui interkom, Eddy mengaku gaya bicara pilot amat
janggal.
"Pilot memperkenalkan dirinya dan kopilot.
Setelah itu, pilot melantur, 'We are going to get ready,
everything is ready. Oh yes, yes, already already'. Kemudian dia
menyebutkan nama pramugari, beberapa wanita. Lalu ketika sampai pada nama Rike,
pilot mengatakan, 'Rike…Rike…Rike..' Itu kan tidak normal, standar prosedurnya
kan tidak seperti itu," papar Eddy.
Selanjutnya,
menurut Eddy, pilot mengeluarkan suara gumaman panjang diikuti bunyi statis
yang terdengar melalui pengeras suara.
"Para
penumpang kan merasa ada yang tidak beres. Kemudian para penumpang turun dari
pesawat dan meminta pilot diganti," kata Eddy.
Di area parkir
pesawat, para penumpang dikumpulkan. Meski demikian, pilot yang diduga mabuk
itu tidak segera muncul dari kokpit. Menurut Eddy, pilot baru keluar setelah
ada mobil mendekati pesawat dan menjemputnya.
"Kita
masih sempat melihat dia digiring turun, lalu masuk ke dalam mobil. Tidak jelas
apakah dia sempoyongan," kata Eddy.
Setelah
itu, pilot pengganti muncul dan meyakinkan para penumpang bahwa dirinya dalam
kondisi bugar.
III.
Permasalahan
IV.
Analisis
V.
Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat
& Lokal, Aplikasi Penelitian dan
Praktik. Jakarta: Kencana Prenadamedia.
No comments:
Post a Comment