Monday, March 13, 2017

Teori Excellence dan Contingency of Accommodation Theory

I.              Pendahuluan
Deetz menjelaskan bahwa suatu teori adalah cara melihat dan berpikir tentang dunia (Litlejohn & Foss, 2008:15, dikutip dalam Kriyantono, 2014). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah teori diciptakan berdasarkan realitas, sehingga realitas tersebut dapat dijelaskan dan dapat diperkirakan dampak yang akan ditimbulkannya. Makalah ini menjelaskan mengenai dua teori dalam Public Relations untuk menunjang praktisi PR yaitu, Teori Excellence dan Contingency of Accomodation Theory.
Teori Excellence
Model Public Relations
Menurut Grunig & Hunt (1984, h. 25; dikutip di Kriyantono, 2014, h. 90-98) teori Excellence dalam public relations merupakan pengembangan dari tori situasional of the public dan 4 model public relations, model-model tersebut diantaranya:
1.      Model Press Agentry / Publisitas
Model ini mempunyai komunikasi satu arah yaitu Komunikator kepada Komunikan. Komunikator tidak terlalu mengharapkan umpan balik yang datang. Model ini bertujuan dalam melakukan suatu ajakan atau promosi yang menguntungkanperusahaan atau instansi. Ciri  dari model ini adalah mencari cara agar khalayak atau publik lebih tertarik dengan informasi-informasi yang diberikan oleh perusahaan yang bersangkutan.
2.      Model Public Information
Dalam model ini public relations membangun kepercayaan publik melalui komunikasi satu arah dengan memberikan informasi kepada public, tetapi todak mementingkan persuasive untuk mengubah sikap tetapi cenderung memproduksi dan menyebarkan informasi yang berkaitan dengan organisasinya.
3.      Model Two-Way Asymmetric
Public Relations dalam praktiknya melalui penyampaian pesannya berdasarkan hasil riset dan strategi ilmiah (scientific strategy) untuk berupaya membujuk publik, agar mau bekerja sama, bersikap dan berpikir sesuai dengan harapan organisasi. Agar persuasi tersebut berjalan dengan baik diperlukan pemahaman terhadap sikap dan karakteristik publik.
4.      Model Two-Way Symmetric
Model Simetris Dua Arah,merupakan cara ampuh dalam meningkatkan citra positif perusahaan terhadap publik. Model ini berbeda dengan model asimetris yang lebih pada masyarakat menyesuaikan diri pada perusahaan namun di model ini organisasi dan publik saling menyesuaikan diri satu sama lain. Fokus menggunakan metode penelitian dan teknik komunikasi untuk mengelola konfik dan memperbaiki  pemahaman publik secara terencana (Grunig 1992, h.18).
Karakter Organisasi Dalam Model Asymmetric dan Symmetric
Aktivitas Public Relations tidak dapat terlepas dari budaya organisasi yang budayanya tersebut akan menentukan model apa yang mendominasi aktivitas public relations tersebut (Grunig, 1989; Grunig & White, 1992; dikutip di Kriyantono, 2014, h. 98-100).
Karakteristik model asymmetric:
a)   Berorientasi internal, yaitu anggota organisasi hanya memandang realitas dari kacamata organisasi dan tidak memandang realitas dari kacamata public.
b)   System tertutup, yaitu informasi tersebar dari organisasi dan tidak membuka diri pada informasi dari luar organisasi.
c)        Menganggap efisiensi dan control atas segala biaya lebih penting daripada kebutuhan akan inovasi
d)       Bersifat elitism, yaitu pengambilan keputusan ditentukan hanya oleh pimpinan organisas.
e)        Konservatif, yaitu cenderung menolak perubahan
f)         Bersiwat kewenangan terpusat, yaitu kewenangan hanya pada segelintir manajer puncak
Karakteristik model symmetric:
a)        Interdipenden, yaitu organisasi merasa menjadi bagian dari lingkungannya.
b)  System terbuka, yaitu organisasi membuka diri untuk pertukaran informasi dengan lingkungannya dan berinteraksi untuk saling memengaruhi.
c)        Bergerak menuju ekuilibrium.
d)  Mempunyai sifat kesederajatan atau kesetaraan yang tinggi, yaitu anggota organisasi mempunyai kesempatan yang samadan dihargai sebagai manusia yang menmpunyai hak dan kewajiban untuk membirakan input kepada organisasi.
e)        Memberikan otonomi kepada anggota organisasi untuk kreatif dan inovatif dalam bekerja.
f)         Lebih mengedepankan inovasi daripada fokus pada tradisi dan kebiasaan.
g)        Disentralisasi menejemen, yaitu cenderung berbagi kewenangan.
h)  Setiap anggota organisasi mesti menyadari konsekuensi dari setiap tindakannya dan berusaha mengurangi konsekuensi negative dari tindakannya bagi orang lain.
i)  Setiap konflik mesti ditangani melalui komunikasi, negosiasi, dan kompromi bukan manipulasi, pemaksaan dan kekerasan.
Pendekatan Strategis dan Dialogis
Dalam pendekatan strategis, public bertindak pasif yang berarti public lebih banyak menerima pesan terhadap program-program organisasi. Sedangkan dalam pendekatan dialogis lebih membuka aliran informasi antara organisasi dan public yang saling aktif dalam menyampaikan dan memberi pesan (Kriyantono, 2014).
Sehingga pendekatan strategis cenderung kepada model asymmetric dan pendekatan dialogis pada model symmetric
Teori Dialogis Public Relations
Model teori dialogis memandang bahwa dialog merupakan kunci utama bagi organisasi untuk membangun hubungan baik dengan public. Teori ini menunjukkan bahwa organisasi benar-benar ingin membangun relasi dengan public melalui komunikasi.
Teori Excellence in Public Relations
Teori yang merupakan pengembangan dari empat model public relations dan teori situational of the public, teori ini lebih menekankan aspek negosiasi dan kompromi. Dan untuk mencapai kedua aspek tersebut teori excellencemenyarankan agar organisasi berkeinginan untuk mengubah perilakunya dan manajer public relations harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan dalam organisasi.
Teori excellence menganggap public relations bukan lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau sebagai teknisi komunikasi untuk menyebarluaskan komunikasi. Namun public relations dianggap sebagai ahli yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan penelitian dan dialog untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya.
Banyak kritik dari pakar yang menilai model normatif ini sulit ditemukan dalam praktik public relations. Pakar-pakar tersebut adalah Cameron, dkk. (2001), Cancel, dkk. (1997), Reber & Cameron (2003). Pengkritik tersebut menilai sulit bagi organisasi yang hanya berfokus menerapkan model two-way symmetric dan menawarkan teori baru yaitu tcontingency theory of accommodation in public relations (teori CA), yang berpendapat bahwa two-way symmetric dan win-win solution sulit diterapkan sebagai bentuk ideal. Karena dalam kenyataan factor aturan atau legal sering tidak memungkinkan public untuk menang. Sebaliknya, organsasi yang memosisikan dirinya pada suatu kontinum antara bersikap akomodasi dan bersikap advokasi saat berhadapan dengan publiknya.
Teori ini menunjukkan bahwa public relations berkontribusi dalam membangun hubungan yang baik dengan lingkungannya. Dan kualitas public relations dapat diukur dengan cara mengevaluasi kualitas hubungan antara organisasi dan publiknya yaitu serial terus-menerus yang secara perlahan membuat kedua pihak terintegrasikan sehingga sulit menentukan titik awal dan akhir hubungan. (Kriyantono, 2014, h. 105-110)
Agar dapat menghasilkan proses public relations yang excellence, teori ini memberikan 10 premis atau prinsip excellence atau factor excellence. Premis yang merupakan hasil dari penelitian terhadap 327 organisasi di tiga negara yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan teori komunikasi, public relations, manajemen, psikologi organisasi, sosiologi organisasi, psikologi social, psikologi kognisis, feminism, ilmu politik, pembuatan keputusan dan budaya (Grunig, dkk., 2008, dikutip di Kriyantono, 2014). Artinya, teori excellence dan model symmetric merupakan hasil membuat unifikasi teori. 10 premis tersebut yaitu:
a)        Organisasi mesti melibatkan aktivitas public relations dalam fungsi strategis manajemen. Yang setiap pengambilan keputusan mesti mempertimbangkan perspektif public relations agar menghasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan public.
b)        Public relations mesti mendapat akses langsung ke dalam kelompok dominan dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer senior.
c)        Organisasi mesti mempunyai fungsi public relations yang terintegrasi ke dalam satu departemen sendiri.
d)       Public relations yaitu fungsi manajemen yang terpisah dari fungsi manajemen lain.
e)        Manajer public relations haruslah seorang yang bercirikan ‘manajer komunikasi,’ bukan ‘teknisi komunikasi’ (managerial).
f)         Mengadopsi model two-way symmetric sebagai basis utama menjalin relasi public.
g)        System komunikasi internal bersifat two-way symmetric, berupa desentralisasi struktur yang menjamin otonomi antarbagian, ada dialog 2 arah, dan memberi peluang anggota organisasi terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
h)        Fungsi public relations model symmetric, peran manajerial, pelatihan akademik public relations, dan profesionalitas dilakukan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan yang memadai tentang bagaimana peran manajerial dalam system symmetric.
i)          Adanya diversitas peran dalam menjalankan fungsi public relations.
j)          Dalam menjalankan fungsinya, praktisi public relations harus mengutamakan kode etik dan integritas profesi.
Poin a, b, c, f merupakan inti dari kesepuluh premis di atas (Dozier, dkk., 1995). Teori excellence memberikan perhatian besar terhadap dimensi etis menjalin relasi. Dimensi etis merupakan salah satu dari 4 dimensi yang membedakan 4 model public relations. Dan dimensi lainnya yaitu arah komunikasi, satu arah atau dua arah; tujuan komunikasi, simetris (dua pihak) atau asimetris (lebih menguntungkan pihak organisasi); dan slauran komunikasi: interpersonal atau bermedia (Kriyantono, 2014, h. 111-112).
Contingency of Accomodation Theory (CA)
Contingency of Accomodation Theory dalam teori Public Relations merupakan pelengkap dari teori excellence. Teori CA ini secara umum menjelaskan tentang hubungan organisasi dan publiknya tidak dapat benar-benar mencapai posisi two-way symmetric seperti yang ditawarkan dalam teori excellence. Praktik public relations bergerak pada suatu kontinium antara advokasi bagi organisasi atau klien dan akomodasi total bagi publiknya (Cameron, dkk dalam Kriyantono, 2014, h.119)
Win-win solution yang ditawarkan model two-way symmetric tidak selamanya menjadi tawaran yang ideal bagi organisasi. Hal ini dikarenakan, ada beberapa faktor yang membuat model symmetric sulit untuk diterapkan dalam praktiknya, misalnya beberapa hal yang berkaitan dengan aturan hukum, sehingga tidak memungkinkan seorang public relations untuk memberitahukan hal tersebut kepada publik (Kriyantono,2014, h.120).
Perbedaan Teori CA dan Teori Excellence
Perbedaan kedua teori ini sangat tipis mengingat teori CA sendiri merupakan pelengkap dari teori Excellence. Perbedaan itu terletak pada pemaknaan apakah model two-way symmetric masih dapat diterapkan atau tidak. Teori CA dalam pembahasannya lebih menegaskan pada batasan-batasan tentang posisi organisasi saat menjalin relasi dengan publik serta menganggap model symmetric sulit diterapkan karena pada kenyataannya relasi publik terjadi dalam kondisi public relations memilih antara bersikap akomodasi dengan publik atau bersikap advokasi (Kriyantono, 2014, h.120)

Kontingensi : Akomodasi dan Advokasi
Akomodasi dapat diartikan sebagai penyesuaian diri terhadap lingkungan, mencakup kemampuan untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kebijakan organisasi, jadi seorang PR layaknya penasihat hukum membela kliennya. Dikatakan kontingensi karena antara bersikap akomodasi dan advokasi, seorang PR di pengaruhi oleh faktor-faktor kemungkinan sehingga bersifat situasional. Seorang PR harus menyeimbangkan antara akomodasi dan advokasi, karena jika PR lebih fokus melakukan advokasi maka dapat dikatakan bahwa seorang PR telah melakukan proses memanipulasi publik (Kriyantono, 2014, h121).

Variabel Teori Contingency of Accommodation
Seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa teori CA ini menekankan bahwa sikap atau posisi seorang PR sangat dinamis dan tergantung pada perubahan situasi yang terjadi (menurut Cameron dikutip dalam Kriyantono, 2014, h.122). Perubahan situasi ini ditentukan oleh variable internal dan eksternal yang memengaruhi organisasi. Berikut beberapa hal yang termasuk kedalam variable eksternal dan variabale internal (Kriyantono, 2014).
Ø  Variabel Eksternal
1.    Ancaman-ancaman (threats)
2.    Lingkungan industry (industry environment)
3.    Level ketidakpastian kondisi social politik atau perubahan budaya eksternal
4.    Publik eksternal (individu, kelompok)
5.    Isu yang dipertanyakan
Ø  Variabel Eksternal
1.      Karakteristik organisasi
2.      Karakteristik departemen Public Relations
3.      Karakteristik koalisi dominan (top management)
4.      Ancaman Internal (internal threats)
5.      Karakteristik individual (praktisi public relations, koalisi dominan, line managers)
6.      Karakteristik hubungan
Cancel, dkk. (1999) mengembangkan dua variabel untuk melengkapi teori CA yaitu (Kriyantono, 2014, h. 126) :
a)      Variabel Presdiposing menurut Cancel, dkk. (1999); Raber & Cameron (2003), adalah variable yang memiliki pengaruh besar pada organisasi dengan membantu membentuk kecenderungan bersikap dan menjalin relasi terhadap publik eksternal. Variabel presdiposing antara lain :
-          Ukuran organisasi
-          Budaya organisasi
-          Terpaan bisnis
-          Afiliasi atau akses dengan kelompok dominan
b)      Variabel Situasional yaitu situasi yang spesifik dan berubah secara dinamis selama interaksi yang melibatkan organisasi dan publiknya. Situasi berperan dalam perubahan sikap dan pendirian organisasi dalam menghadapi publiknya. Variabel situasional antara lain :
-          Ancaman, seperti pemberitaan negative di media, intervensi pemerintah, persoalan hokum (litigasi)
-          Biaya dan keutnungan akomodasi
-          Keseimbangan kepentingan antara berbagai publik
-          Persepsi publik terhadap isu
-          Reputasi organisasi
-          Karakteristik publik eksternal dan tuntutan-tuntutannya.

II.           Deskripsi Kasus

Gambar 1 Berita mengenai Pilot Citilink yang diduga mabuk (http://www.bbc.com)


Gambar Berita mengenai Pilot Citilink yang diduga mabuk (https://news.detik.com)

Kasus ini dikutip dari portal berita online yaitu bbc.com dan detik.com. Peristiwa ini terjadi pada 28 Desember 2016, pilot pesawat Citilink QG-800 jurusan Surabaya-Jakarta dalam kondisi mabuk saat akan menerbangkan pesawat pada pukul 05.15 WIB.

Dugaan bahwa pilot maskapai Citilink dalam keadaan mabuk diutarakan Eddy Roesdiono, salah satu penumpang maskapai tersebut. Eddy mengatakan pesawat akan berangkat sesuai jadwal, pada pukul 05.15 WIB. Namun, ketika pilot menyampaikan pesan kepada para penumpang melalui interkom, Eddy mengaku gaya bicara pilot amat janggal.

"Pilot memperkenalkan dirinya dan kopilot. Setelah itu, pilot melantur, 'We are going to get ready, everything is ready. Oh yes, yes, already already'. Kemudian dia menyebutkan nama pramugari, beberapa wanita. Lalu ketika sampai pada nama Rike, pilot mengatakan, 'Rike…Rike…Rike..' Itu kan tidak normal, standar prosedurnya kan tidak seperti itu," papar Eddy.
Selanjutnya, menurut Eddy, pilot mengeluarkan suara gumaman panjang diikuti bunyi statis yang terdengar melalui pengeras suara.

"Para penumpang kan merasa ada yang tidak beres. Kemudian para penumpang turun dari pesawat dan meminta pilot diganti," kata Eddy.

Di area parkir pesawat, para penumpang dikumpulkan. Meski demikian, pilot yang diduga mabuk itu tidak segera muncul dari kokpit. Menurut Eddy, pilot baru keluar setelah ada mobil mendekati pesawat dan menjemputnya.

"Kita masih sempat melihat dia digiring turun, lalu masuk ke dalam mobil. Tidak jelas apakah dia sempoyongan," kata Eddy.

Setelah itu, pilot pengganti muncul dan meyakinkan para penumpang bahwa dirinya dalam kondisi bugar.

III.        Permasalahan


IV.        Analisis


V.           Rekomendasi




DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono, R. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal, Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenadamedia.


No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system